Jumat, 17 September 2010

Allah Tidak Mengampuni Orang Yang Hutang

عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، أَنَّ رَسُولَ اللهُ J قَالَ:

﴿ يُـغْــفَرُ لِلشَّــهِيدِ كُلُّ ذَنْـبٍ إِلاَّ الدَّيْـنَ ﴾

Dari sahabat Abdullah bin Amru bin Ash r.hu, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda,

“Setiap dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali utang.” (Takhrij Imam Ibnu Hajar al-Asqalani r.hu, Kitâb Targhib wa Tarhib, hadis nomor 439).

Kedudukan Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim r.hu dalam Kitab Shahih-nya, bâb Man Qatala fî Sabîlillâh, Juz IX, halaman 469, hadis nomor 3498. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Kitab Musnad-nya, bab Musnad Abdullah bin Amr bin Ash, Juz XIV hal.292 nomor hadis 6754. Dan, Imam Hakim meriwayatkan pula dalam Kitab Mustadrak-nya, Juz VI, halaman 159, nomor hadis 2507. Beliau mengatakan bahwa hadis ini shahih.

Pemahaman Hadis
1. (يغفر للشهيد) Yughfaru Lisy-syahīdi.
Kata yughfaru berasal dari kata ghafara. Artinya: mengampuni. Kata yughfaru adalah bentuk mabni majhul (kalimat pasif) yang mengandung arti diampuni. Maksudnya, orang yang wafat dalam keadaan syahid. Pasti semua dosanya diampuni oleh Allah azza wa jalla.
Pengertian syahid di sini tidak hanya orang yang mati karena berperang di jalan Allah. Akan tetapi, termasuk dalam kategori syahid adalah orang yang mati karena sakit perut, karena terkena wabah pes, karena tenggelam, karena penyakit selaput dada, karena terbakar, karena tertimpa benda keras, dan perempuan yang mati karena melahirkan. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw,

“Mati syahid ada tujuh macam selain berperang di jalan Allah azza wa jalla: Orang yang mati karena sakit perut adalah syahid; Orang yang mati karena tenggelam adalah syahid; Orang yang mati karena penyakit radang selaput dada adalah syahid; Orang yang mati karena wabah pes adalah syahid; Orang yang mati karena tertimpa benda keras adalah syahid; Orang yang mati karena terbakar adalah syahid; Seorang perempuan yang mati karena melahirkan adalah syahid” (Hr.Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).

2. (إلا الدين) Illad-dain.
Kata dain berarti hutang. Yang dimaksud dengan hadis di atas adalah orang yang mati dalam keadaan mempunyai hutang. Dosanya tidak akan diampuni oleh Allah azza wa jalla, sampai ada ahli warisnya atau orang yang menanggung hutang tersebut. Meskipun dia mati sebagai seorang syuhada`. Dari sinilah, maka Rasulullah sangat mewanti-wanti umatnya, agar sebisa mungkin untuk tidak berhutang.
Dalam keadaan yang sangat penting, seseorang diperbolehkan hutang. Akan tetapi ada beberapa persyaratan, yaitu:
• Orang yang akan berhutang dalam kondisi kepepet.
• Orang yang akan berhutang harus mempunyai sesuatu yang dapat dijadikan cadangan untuk membayarnya (boreg).
• Berhutang untuk sesuatu yang produktif (menghasilkan), bukan untuk konsumtif.
Karenanya, Rasulullah saw mengajarkan kepada kaum muslimin mukmin, supaya dalam kehidupan keseharian benar-benar mengamalkan budi pekerti qana’ah (perilaku menerima kenyataan, red). Dengan pemikiran, bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan umat manusia, tak terkecuali kaum muslimin adalah berasal dari Allah azza wa jalla.
Manusia sebagai hamba Allah, diuji dengan segala apa yang dialaminya, baik itu yang menyenangkan atau mungkin menyakitkan. Siapa di antara mereka yang paling baik amalnya, itulah yang berhasil menghadapi ujian Allah. Sebagaimana telah dinyatakan-Nya,


“[Allah] yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian. Siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan, Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun” (Qs.al-Mulk [67]: 2).

Ayat di atas haruslah kita imani dengan sungguh-sungguh. Bahwa, Allah swt telah menjadikan hidup dan mati hanya sebagai ujian buat manusia. Karenanya, barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah hidup dengan serba kecukupan, jangan lupa untuk mengeluarkan zakat mal dan sedekah. Dan, barangsiapa yang ditakdirkan hidup dalam kekurangan, bersabarlah.
Dinul Islam memerintahkan agar kaum muslimin tetap berlaku sederhana dalam hidupnya, dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Siapa pun orangnya, dari status sosial mana pun pasti bisa mempraktekkan perilaku ini. Dari sinilah maka seorang muslim diharapkan tidak perlu berhutang.
Kenyataan sekarang, banyak orang yang hanya gara-gara gengsi dengan tetangga, tanpa melihat penghasilannya. Mereka tidak segan-segan hutang sana-hutang sini. Melihat tetangganya membeli televisi. Ikut beli televisi. Melihat tetangganya membeli kulkas. Ikut beli kulkas, dst. Akhirnya, hutangnya di mana-mana. Hal itu menyebabkan ia bingung dan resah. Apalagi kalau sudah waktunya membayar.
Sebenarnya, kalau seseorang itu mau bersikap qana’ah (menerima apa yang telah diberikan Allah). Maka, tidak ada yang namanya hutang. Misalnya, seseorang dengan gaji yang sedikit. Maka, hal itu disyukurinya dengan berusaha, agar gaji yang sedikit itu cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dia menahan diri dari keinginan yang bermacam-macam. Karena sadar, bahwa gaji yang sedikit tidak akan mungkin bisa menuruti keinginannya. Akhirnya yang dilakukan adalah sabar (menahan diri). Karena ia tidak mau terjebak hutang. Alasannya sederhana,
• Pertama. Seseorang yang punya hutang. Shalatnya tidak akan mencapai derajat khusyu’. Artinya, seseorang yang punya hutang akan ingat di dalam shalatnya kalau ia mempunyai hutang. Karena setan yang bernama kinzab (setan yang bertugas menggoda orang shalat) selalu mengingatkan akan hal tersebut. Sehingga, shalatnya menjadi tidak khusyu’.
• Kedu. Hidupnya tidak akan tenang. Artinya, seseorang yang punya hutang akan berpikir hutangnya. Apalagi kalau tempo pembayaran sudah dekat. Orang Jawa bilang, bahwa orang yang punya hutang itu, “Nek awan gak wani metu, nek bengi gak iso turu” (kalau siang tidak berani keluar rumah [karena malu atau takut ditagih], kalau malam tidak bisa tidur [karena memikirkan hutangnya]).
• Ketiga. Selalu su`udlan kepada orang lain. Artinya, seseorang yang mempunyai hutang akan memiliki prasangka buruk kepada orang lain. Suatu contoh. Seseorang yang dihutangi datang ke rumahnya. Secara otomatis orang yang mempunyai hutang akan menyangka kalau ia mau menagih hutangnya. Padahal, orang tersebut hanya silaturrahim atau mau mengundang hajatan.
• Keempat. Berpisah dengan jamaah kaum muslimin. Artinya, jika seseorang mempunyai hutang dengan sesama teman dalam satu jamaah. Ia akan meninggalkan jamaah tersebut karena malu belum bisa membayar hutangnya. Padahal, kalau seseorang meninggalkan jamaah kaum muslimin, kemudian ia mati; maka ia mati dalam keadaan merugi.
• Kelima. Tidak masuk surga selama hutangnya belum lunas. Rasulullah saw bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah. Kemudian, ia hidup kembali. Lalu, ia terbunuh lagi sementara ia masih memiliki hutang, niscaya ia tidak akan masuk surga hingga hutangnya terlunasi” (Hr.Nasa`i, Thabrani, dan Hakim).


Pembelajaran Sifat (Character Learning)
Rasulullah saw memberikan pembelajaran sifat kepada kita bahwa orang yang mati dalam keadaan mempunyai hutang, maka dosanya tidak diampuni oleh Allah swt. Dikisahkan, pada suatu hari Rasulullah saw menghadiri jenazah. Beliau saw dimohon untuk menyalati jenazah tersebut. Sebelum menyalati, beliau bertanya, “Apakah si jenazah mempunyai hutang?” maka ada yang menjawab, “Ya.” Maka beliau saw enggan untuk menyalatinya. Beliau saw bertanya lagi, “Adakah yang menanggung hutangnya?” seseorang menjawab, “Ya.” Maka beliau berkenan untuk menyalatinya.
Dari pembelajaran sifat tersebut, kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa orang yang mati meninggalkan hutang, maka jenazahnya tidak boleh dishalati. Alangkah sengsaranya. Jenazahnya saja tidak ada yang menyalati, yang itu menandakan kesengsaraan kehidupan di alam barzah. Apalagi di akhirat kelak. Na’ûdzu bil-lâh.

Perubahan Perilaku (Behavior Transformation)
1. Berazzamlah untuk mati dalam keadaan syahid.
2. Terimalah apa yang diberikan oleh Allah azza wa jalla ini seadanya dan jadilah orang yang qanaah.
3. Berazzamlah untuk tidak hutang kepada siapa pun selama hidup di dunia.
4. Jika sudah terlanjur hutang, maka berusahalah untuk segera membayarnya dan bertekadlah untuk tidak hutang lagi.
5. Hafalkan doa ini, lalu ikuti dengan CC 100% sebagai doa keseharian,
أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ الْكُفْرِ وَالدَّيْنِ
"Aku berlindung kepada Allah dari kekafiran dan hutang." (Hr.Nasa`i, Ahmad, Hakim, dan Ibnu Hibban).

6. Teruslah ber-husnudhan dengan Allah swt. Di samping sekuat tenaga terus-menerus mengingkari segenap perbuatan buruk.

Oase Pencerahan
Allah azza wa jalla telah memberikan penawaran kepada hamba-Nya yang beriman dengan berbagai macam penawaran. Barangsiapa yang mati dalam keadaan syahid. Maka, semua dosanya diampuni oleh Allah kecuali hutang. Alangkah bahagianya orang yang ditakdirkan oleh-Nya mati dalam keadaan syahid. Sebaliknya, alangkah sengsaranya orang yang ketika mati dalam keadaan masih memiliki tanggungan hutang.
Sebagai umat Rasulullah saw. Marilah kita mindSET pikiran kita mulai sekarang. Bahwa, dalam kehidupan ini kita ber-azzam untuk mati syahid. Sebab, barangsiapa yang memohon dengan sepenuh hati untuk mati syahid. Allah swt pasti akan mengabulkan keinginannya walaupun ia berada di tempat tidur.
Kita juga harus me-mindSET pikiran kita untuk tidak hutang selama hidup kita. Insya Allah, apa yang kita pikirkan pada hari ini suatu saat akan menjadi kenyataan. []

4 komentar:

  1. Assalamualaikum, Bagaimana kalo saya punya hutang tapi saya menyadari bahwa itu dosa yg tidak terampuni dan sampai detik ini saya belum sanggup membayar hutang karena kemiskinan, Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya sebisanya dibayar sebelum kita meningal nanti.. toh kita diberi kesehatan untuk selalu bekerja kerasmembayar hutang kita... sama pak dengan kasus saya.. hehe

      Hapus
  2. Alah embuh.. ...pasrah wae lah...allah maha pengampun dan maha bijaksanA..

    BalasHapus
  3. yang terpenting wajib membayar,mau pun dg cara mencicil.

    BalasHapus