Jumat, 17 September 2010

Menjalin Kasih-Sayang Lewat Hadiah

عن أبي هريرة  قَالَ: عَنِ النَّبِيِّ J قَالَ:

﴿ تَـــهَادُوْا تَــحَابُّوْا ﴾
Dari sahabat Abu Hurairah r.hu, dari Rasulullah saw, beliau bersabda,

"Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian saling bercinta kasih" (Takhrīj Imam Ibnu Hajar al-Asqalani r.hu, Kitāb Bulūghul Marām, hadis nomor 961).

Kedudukan Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Sunanul Kubra, Juz VI hal.169 dan dalam Syu’abul Īmān, bab Qishshah Ibrahim fil Mu’ānaqah, Juz XVIII, hal.485, hadis nomor 8693; Imam Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, bab Mim, Juz XIV, hal.24, hadis nomor 7448; Imam Abu Ya’la dalam Musnad-nya, bab Tahādū Tahābbū, Juz XII, hal.402, hadis nomor 6013; dan Imam Qadla’i dalam Musnad-nya, bab Tahādū Tahābbū, Juz III, hal.28, hadis nomor 616.

Kunci Kalimat (Miftāhul Kalām)
﴿ تَـــــــــهَادُوْا تَــــــــــــحَابُّــــــــوْا ﴾
“Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian salib bercinta kasih”

Manusia adalah makhluk sosial. Di kehidupan sosial masyarakat, seseorang diuji oleh Allah swt. Bagaimana ia bergaul dengan orang di sekitarnya? Apakah ia bisa berinteraksi sosial dengan baik dan benar, atau sebaliknya? Apakah ia egiois, atau sebaliknya?
Di dalam masyarakat, seseorang akan berkumpul dengan berbagai macam watak dan karakter dari orang-orang di sekitarnya. Ada yang sabar, rendah hati, pemaaf, jujur, adil, dan sederhana. Dan sebaliknya, ada pula yang sombong, iri, dengki, hasud, pemarah, tamak, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk bisa bergaul dengan siapa saja dan di mana saja kita berada. Nah, untuk menghadapi berbagai macam karakter dan sifat manusia tersebut, Rasulullah saw memberikan tuntunan kepada umatnya, agar saling memberi hadiah. Dengan tujuan, supaya sesama manusia saling mengasihi dan menyayangi serta menghilangkan kedengkian.
Kebanyakan orang menganggap, bahwa pemberian yang diberikan kepada orang lain haruslah sesuatu yang bernilai tinggi. Sehingga, banyak orang merasa malu untuk memberikan sesuatu yang dianggap remeh atau dianggap tidak ada nilainya. Ia takut dihina atau dicela karena memberikan sesuatu yang tidak bernilai.
Padahal, yang harus diperhatikan adalah sifat memberinya itu, bukan sesuatu yang akan diberikan. Karenanya Rasulullah saw memberikan nasehat kepada sahabat Abu Dzar r.hu untuk gemar memberi kepada tetangganya walau hanya kuah, sebagaimana sabdanya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَـخْتَ مَرَقَةً فَأَكْـثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْـرَانَكَ
“Wahai Abu Dzarr, apabila kamu memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, lalu berikan kepada tetanggamu” (Hr.Muslim)

Juga, sabda Rasulullah saw kepada para muslimah,
يَا نِـسَاءَ الْمُسْـلِمَاتِ لاَ تَحْـقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِـنَ شَاةٍ

“Hai perempuan-permpuan muslimat, janganlah seorang tetangga memandang rendah [memberi hadiah] kepada tetangganya walaupun ujung kaki kambing” (Muttafaqun ‘alaih)

Secara sunnatullah, seseorang yang diberi sesuatu (baik berupa hadiah atau pemberian yang lain) akan memiliki rasa hutang budi kepada yang memberi. Sehingga ia tidak akan memiliki rasa dengki serta menuruti apa saja yang diperintahkan oleh yang memberi.

تَــهَادُوْا فَإِنَّ الْهَـدِيَّةَ تَـسُلُّ السَّـخِيْـمَةَ
“Salinglah memberikan hadiah. Karena hadiah itu menghilangkan kedengkian” (Hr.Bazzar)

Hadis inilah yang selalu “dipraktekkan” oleh Pak Harto, insya Allah, penguasa Indonesia selama 32 tahun. Dengan memegangi dan selalu “mengamalkan” hadis ini, Pak Harto “disayang” oleh rakyatnya. Hal itu terbukti dengan dipilihnya dia menjadi Presiden Indonesia secara terus-menerus selama hampir 32 tahun; masya Allah.

Pembelajaran Sifat (Character Learning)
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada seorang sahabat (Abdullah bin Abu Bakar, r.hu; red) yang mempraktekkan hadis di atas untuk sarana dakwah. Untuk menyampaikan sebuah hadis Rasulullah saw, beliau terlebih dahulu menyembelih seekor onta lalu memasaknya. Kemudian, beliau mengundang para tetangga untuk makan bersama. Namun sebelum makan, beliau menyampaikan satu atau dua hadis. Setelah itu barulah mereka makan bersama. Dengan cara seperti itu, banyak orang yang tertarik untuk mengikuti ajakannya.
Dalam riwayat yang lain disebutkan. Ketika berada di pasar, ada seorang sahabat bersama isterinya melihat seorang perempuan yang berperilaku buruk. Lalu, sahabat tersebut berkata kepada isterinya untuk melepas gelang yang dipakainya untuk diberikan kepada perempuan yang berperilaku buruk tadi. Kemudian, didakwahi supaya meninggalkan perbuatan buruknya.
Dari dua kisah tersebut, patutlah kita ambil pelajaran, agar berusaha sebisa mungkin meniru apa yang dilakukan sahabat tersebut.

Perubahan Perilaku (Behavior Transformation)
1. Segera kita CC 100% dengan perilaku suka memberi hadiah.
2. Jangan malu untuk memberi orang lain walaupun yang diberikan bukanlah sesuatu yang bernilai tinggi.
3. Tirulah Rasulullah saw, dan para: sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, salafush-shalih, dan para ulama’ullah yang gemar memberikan hadiah secara ikhlas.
4. Teruslah ber-husnudhan dengan Allah swt.

Oase Pencerahan
Hadis di atas, sungguh sebuah hadis pendek, yang memuat intisari pertemanan dalam kehidupan sebuah masyarakat manusia. Oleh Rasulullah saw seorang muslim mukmin didorong, supaya memiliki habits memberi ketimbang memiliki kebiasaan meminta.
Seorang yang di keseharian hidup banyak memberikan sesuatu kepada orang lain, niscaya hidupnya akan: Sehat; Sejahtera; dan Bahagia (SSB). Orang yang suka memberi tidak usah memikirkan dari mana ia akan mendapatkan “ganti”. Telah menjadi otomatisasi, siapa pun yang banyak “memberi”. Pasti hidupnya akan mendapatkan banyak “pemasukan”. Orang yang tidak pernah “memberi”, niscaya dalam hidupnya tidak akan mendapatkan “pemasukan”, kecuali hanya sekadarnya dari yang telah ditetapkan Allah swt.
Dengan banyak “memberi” seseorang akan memiliki jaringan yang luas lagi kuat. Rasulullah saw cepat dalam dakwah dan syi’ar Islam --karena beliau memiliki habits memberi. Kehebatan para sahabat nabi r.hum. Karena mereka banyak “memberi”. Keberhasilan dakwah Islam para wali di Nusantara. Sebab, mereka banyak “memberi”. Dan, orang-orang yang sukses di dunia ini, secara umum, mereka suka “memberi”.
Itu berbeda dengan, para muballigh dan da’i sekarang ini. Yang lebih banyak “menerima” dibandingkan dengan “memberi”. Akibatnya, dakwah Islam yang kelihatan hingar-bingar. Ternyata malah melahirkan banyak pembusukan (distrosi) dan kemandegan (jumud). Di sinilah para pelaku dakwah Islam harus segera melakukan redifinisi dakwah. Sehingga masyarakat dakwah, tidak ikut-ikutan menjadi manusia yang berharap banyak “menerima” tapi sedikit dalam “memberi”. Gara-gara meniru dari para tokoh, ulama, muballigh, dan da’i. Yang mana mayoritas dari mereka dewasa ini telah banyak memberikan contoh, lebih banyak “menerima” ketimbang “memberi”.
Melalui hadis Nabi saw di atas. Risalah islamiah mendorong kaum muslimin mukmin, agar menjadi umat yang mulia dengan jalan banyak “memberi”. Dan, sebuah kenyataan, apabila seseorang itu banyak “menerima”. Pasti hidupnya akan terhina. Karena dia selalu berharap dan bergantung dengan sesama manusia. Seorang hamba yang hidupnya banyak bergantung dengan manusia lain. Hal itu menjadikan tauhidnya lemah. Tauhid yang lebih pasti menjadikan hidup seorang manusia tidak mendapatkan kemuliaan dari Allah azza wa jalla.
Melalui hadis di atas. Rasulullah saw telah menawarkan kepada segenap kaum muslimin mukmin untuk hidup mulia,l dengan cara banyak “memberi” kepada orang lain. Sebagai umat Nabi Muhammad saw, kita telah mendapatkan banyak kemuliaan dari sisi-Nya. Hendaknya kita terus-menerus berusaha dengan sekuat tenaga untuk melakukan Character Learning (c-lear) dan Behavior Transformation (betra). Sehingga kita CC 100% dengan habits memberi. Camkan firman-Nya,

"Perumpamaan [nafkah yang dikeluarkan oleh] orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan 7 bulir. Pada tiap-tiap bulir 100 biji. Allah melipat-gandakan [ganjaran] bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas [karunia-Nya] lagi Mahamengetahui" (Qs.al-Baqarah [2]: 261).

Sebuah ilustrasi. Seorang yang makan, pasti BAB (buang air besar). Seorang yang minum, pasti kencing. Sama. Seorang yang mendapatkan banyak “pemasukan” harus diimbangi dengan “pemberian” untuk orang lain. Sebab, dalam harta benda seseorang terdapat harta orang lain, yang dititipkan Allah kepada dirinya.
Seorang yang banyak “memberikan” sesuatu kepada orang lain. Niscaya dijamin akan mendapatkan “pemasukan” yang lebih besar. Inilah “hukum keluar-masuk”. Jika ada yang masuk, pasti ada yang keluar. Apabila ada yang keluar, pasti ada yang masuk.
Seorang yang berilmu lagi bijak. Inilah yang disebut seorang yang ahli hikmah. Di keseharian hidupnya, selalu berupaya, bagaimana dirinya mampu mengeluarkan rizeki Allah itu sebanyak-banyaknya buat orang lain. Dikarenakan, “pemasukan” adalah konsekuensi logis dari “pengeluaran” yang terjadi. Maka, ia tidak pernah ketakutan dengan habits memberi.
Berbeda dengan seseorang yang berilmu tapi bakhil. Atau, seseorang yang awam. Kedua golongan manusia ini, selalu berpikir, bagaimana menyerap “pemasukan” sebesar-besarnya. Namun “mengeluarkan” sekacil-kecilnya. Sehingga semua cara mereka gunakan, yang penting “pemasukan” besar. Padahal berdasarkan “hukum keluar-masuk”. Hal itu tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin, jika mulut disuapi terus. Tapi tidak pernah BAB. Bagaimana mungkin mulut diminumi terus. Tapi tidak pernah kencing. Sungguh sebuah kehidupan yang penuh penyakit. Sebab, di kehidupan seorang yang bakhil atau awam, harus terus-menerus menahan, supaya tidak BAB dan tidak kencing.
Jadikanlah, hadis dalam tema di atas, sebagai motivator kecerdasan. Sehingga kehidupan seorang muslim mukmin, dari waktu ke waktu semakin dimuliakan oleh Allah azza wa jalla. Dengan kepemilikan atas habits memberi.
Yang tidak boleh dilupakan. Seseorang memberi itu semata mencari ridla Allah. Bukan untuk maksud tertentu. Yakni, yang bermaksud duniawiah atau bertendensikan: harta benda, kekuasaan, atau syahwat. Tidak ini.
Jadi, tidak dapat disebut memiliki habits memberi. Lantaran seseorang banyak melakukan pemberian sesuatu. Karena dia sangat berharap, dari orang yang diberi itu, memilihnya menjadi gubernur --dalam pilgub, menjadi bupati --dalam pilkada, menjadi walikota --dalam pilwali, dan menjadi kepala desa --dalam pilkades. Ini tidak lil-lahi ta’ālā. Sebaliknya, ada pamrih yang bersifat duniawiah.
Memberilah, karena Allah semata. Tidak sebab yang lain. Memberi sesuatu karena Allah. Akan dapat menjadi sarana penghubung yang bagus di kehidupan sosial masyarakat manusia. Khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat muslim. Dengan banyak memberi, akan terbentuk sebuah masyarakat yang berdaya. Yaitu, masyarakat muslim yang selalu memikirkan orang lain dan tidak mau menyakiti orang lain. Inilah masyarakat muslim, yang di kehidupan sosial keseharian dipilari dengan rasa berkepedulian dan perilaku untuk berbagi rasa (to care and to share); insya Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar