Jumat, 17 September 2010

Membunuh Mukmin, Termasuk Dosa Besar

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه:
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْـيَا
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Umar r.hu telah berkata, bersabda Rasulullah saw,

“Membunuh orang mukmin lebih besar [dosanya] di sisi Allah daripada lenyapnya dunia”

Kedudukan Hadis
Hadis ini terdapat dalam Sunan Nasa’i, bab Ta’dhimud Dami, juz XII, halaman 339, hadis nomor 3923; dan juga pada juz II, halaman 285, hadis nomor 3450. Juga, dalam Sunanul Kubra lin-Nasa’i. Dalam Musnadul Jami’ terdapat di bab 2, juz VI, dan pada halaman 383. Dan,terdapat pula pada bab 6, juz XXVII, halaman 36.
Dalam Kitab Kasful Hufa’ terdapat pada juz II, halaman 91; dan di dalam Kitab Talkhisul Kabir fi Takhriji Ahadisir Rafi’ah dalam bab Ma Ja’a fi Tasdidi fil Qotli, juz IV, halaman 495. Dan, hadis ini sanadnya shahih.

Kunci Kalimat (Miftāhul Kalām)
“Membunuh orang mukmin”

Dalam kamus modern Wekipedia, membunuh adalah suatu tindakkan menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum. Pembunuhan biasanya didasari suatu motif, yang motifnya bisa bermacam-macam. Misalnya politik, cemburu, dendam, dsb. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Dalam syariat Islam membunuh merupakan tindakkan menghilangkan nyawa seseorang dengan berbagai alat yang dapat menghilangkan nyawa seseoarang. Di dalam Islam membunuh atau pembunuhan termasuk dalam kategori dosa-dosa besar, selain syirik dan zina. Sebagaimana telah difirmankan-Nya,

“Dan, barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya” (Qs.an-Nisa` [4]: 93).

“Barangsiapa”, yang dikatakan “man” dalam bahasa Arab. Berkedudukan sebagai syarat. Dalam ilmu Ushul Fiqh, kata syarat tersebut memiliki makna umum. Sehingga seluruh orang yang melakukan perbuatan, seperti yang disebutkan pada ayat di atas akan mendapatkan balasan yang disebutkan pada ayat tersebut.
“Membunuh seorang mukmin”, yaitu yang dibunuh orang yang beriman pada Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, orang yang membunuh orang kafir atau orang munafik tidak termasuk dalam ayat ini. Akan tetapi membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian damai, atau yang tunduk kepada pemerintah muslim, atau yang meminta perlindungan keamanan kepada pemerintah muslim, adalah suatu perbuatan dosa. Namun pembunuhnya, tidak diancam dengan ancaman seperti yang disebutkan pada ayat ini. Adapun orang-orang munafik, maka syariat Islam menjaga darah mereka selama mereka tidak menampakkan prilaku kemunafikannya.
“Dengan sengaja”, berdasarkan kalimat ini, maka anak kecil ataupun orang gila tidak termasuk dalam ayat ini. Demikian juga orang yang membunuh tanpa kesengajaan. Karena ketiga jenis orang ini, melakukan perbuatan tanpa disertai niat yang teranggap.
Allah ta’ala telah memberikan ancaman yang sangat besar dan tegas pada ayat ini bagi orang --siapa pun dia-- yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Allah azza wa jalla menyebutkan empat buah balasan bagi orang ini adalah sebagai berikut:
1. Allah swt akan memasukkan orang tersebut ke dalam neraka Jahanam.
2. Allah swt menjadikan orang tersebut tinggal di dalam Jahannam kekal.
3. Allah swt murka kepadanya.
4. Allah swt menjauhkan orang tersebut dari rahmat-Nya.
Demikian empat buah balasan yang Allah swt berikan pada orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Jika seandainya disebutkan satu buah balasan saja, maka hal ini akan menjadi penghalang bagi seorang mukmin yang takut akan Rabb-Nya untuk tidak melakukan dosa ini. Maka bagaimana jika disebutkan empat buah balasan sekaligus?
Tidak ada alasan lagi bagi seorang yang mengaku beriman membunuh saudaranya yang seiman. Kecuali hal tersebut memang dapat dibenarkan oleh syariat Islam. Seperti melaksanakan hukum qishas, dsb.
Lalu, bagaimana bagi seorang yang telah terlanjur melakukan pembunuhan. Dan, dia ingin bertaubat. Apakah taubatnya akan diterima oleh Allah swt? Sedangkan dalam ayat tadi diterankan, bahwa orang yang membunuh orang mukmin akan kekal di dalam neraka dan mendapatkan laknat serta adzab yang besar dari Allah swt?
Mengenai masalah ini, ada beberapa pendapat di antaranya: Pendapat pertama, menyebutkan bahwa ancaman kekal di neraka pada ayat ini, adalah jika seorang kafir membunuh seorang mukmin. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Karena orang yang kafir, tidak beriman pada Allah dan rasul-Nya akan dibalas dengan neraka Jahanam, dan kekal di dalamnya. Sama saja, apakah dia membunuh seorang mukmin atau tidak. Allah swt berfirman,

“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala [neraka], mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak [pula] seorang penolong.” (Qs.al-Ahzãb [33]: 64-65).

Pendapat kedua menyebutkan, bahwa ancaman kekal di neraka pada ayat di atas ditujukan untuk orang yang menghalalkan untuk membunuh seorang mukmin. Sehingga orang yang mengatakan, bahwa membunuh orang mukmin adalah halal. Maka, orang ini telah kafir dan ia kekal di neraka. Pendapat ini juga adalah pendapat yang lemah. Imam Ahmad r.hu telah membantah pendapat ini dengan menyatakan, bahwa orang yang menghalalkan untuk membunuh orang mukmin, adalah kafir walaupun dia tidak melakukan pembunuhan tersebut. Padahal sebagaimana dipahami, bahwa ayat ini mengancam orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.
Pendapat ketiga menyebutkan, bahwa pada kalimat ini terdapat kalimat lain yang merupakan kelanjutannya (dalam bahasa Arab disebut, taqdir syarat). Sehingga ayat tersebut bermakna, “Maka, balasannya adalah neraka Jahanam, kekal di dalamnya, jika Allah membalasnya.”
Pendapat ini perlu ditinjau kembali. Apa faedah penyebutan, “Maka, balasannya adalah Jahanam”. Kalau maksudnya terkait dengan jika Allah membalasnya? Kemudian jika Allah swt membalasnya, apakah balasannya, adalah kekal di neraka? Jika orang itu menjawab, “Ya.” Maka, masalahnya akan kembali muncul (bahasa Jawa: mbulet). Yaitu, bagaimana mungkin dosa yang bukan kekufuran dapat menyebabkan kekal di neraka?
Walhasil, ketiga pendapat ini adalah pendapat yang masih perlu ditinjau kembali. Karena ketiganya, tidak lepas dari pertentangan satu sama lain (ikhtilaf).
Pendapat yang keempat menyebutkan, bahwa ayat ini merupakan salah satu penyebab yang dapat menyebabkan seseorang kekal di neraka. Namun jika didapati adanya penghalang lain. Maka, sebab tersebut tidak dapat memunculkan akibat. Misalnya, status sebagai seorang anak dapat menyebabkan seseorang mendapatkan warisan dari orang tuanya. Namun jika si anak tersebut adalah orang yang kafir. Maka statusnya sebagai orang kafir, akan membatalkan hak warisnya. Maka, perbuatan membunuh seseorang merupakan penyebab kekalnya seseorang di neraka. Namun statusnya sebagai seorang mukmin, maka ia tidak kekal di neraka. Akan tetapi ada sedikit permasalahan yang muncul di benak kita. Yaitu, apa manfaat Allah menyebutkan ancaman yang sangat keras ini?
Tidak, tentunya Allah swt tidak akan berfirman tanpa ada faedah di dalamnya. Tidak ada satu pun perkataan Allah dalam al-qur`an maupun apa yang Rasulullah sampaikan dalam sunnahnya hanya sekadar main-main tanpa hikmah di dalamnya. Faedah penyebutan hukuman kekal di neraka, adalah bahwa orang yang melakukan pembunuhan terhadap seorang mukmin dengan sengaja telah melakukan sebuah hal yang menyebabkan dia kekal di neraka. Padahal yang menghalangi orang tersebut untuk bebas dari kekalnya Jahanam (yaitu keimanan), bisa jadi ada dan bisa pula tidak ada. Maka, orang ini berada dalam ancaman bahaya yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi saw bersabda,

“Seorang mukmin akan senantiasa berada pada kelapangan dalam agamanya selama ia tidak menumpahkan darah yang haram” (Hr. Bukhari 6862, Ahmad 2/94, Baihaqi dalam Sunan-nya 8/21; dan lain-lain).

Maka, jika seseorang menumpahkan darah yang haram. Ia berada pada kondisi yang sangat kritis dalam agamanya, bahkan dapat menyebabkan ia kufur.
Kesimpulan dari pendapat ini, bahwa melakukan pembunuhan dapat menyebabkan seseorang mati dalam keadaan kafir dan hal ini bisa menyebabkan dia kekal di neraka. Namun jika orang ini memiliki keimanan, maka hal ini akan menyebabkannya terbebas dari ancaman kekal di neraka. Namun bukan berarti dia tidak akan diazab dalam neraka, orang tersebut hanya bebas dari hukuman kekal di neraka, walaupun boleh jadi dia akan diazab dalam panasnya api neraka dalam waktu yang sangat lama.
Pendapat kelima menyebutkan, bahwa “kekal di dalamnya” pada ayat ini memiliki makna, bahwa orang ini akan tinggal di Jahanam dalam waktu yang sangat lama bukan dalam waktu yang kekal. Hal ini sebagaimana jika disebutkan, “Fulan dihukum di penjara selamanya”, padahal penjara tidaklah kekal.
Pendapat ini adalah pendapat yang mudah dan tidak terlalu sulit untuk merenunginya. Pada ayat ini, Allah tidak menyebutkan keabadian. Allah swt tidak menyebutkan, “Kekal di neraka selama-lamanya.” Akan tetapi, Allah hanya menyebutkan, “Kekal di neraka”. Sehingga ayat ini memiliki makna, bahwa orang tersebut tinggal di neraka Jahanam dalam waktu yang sangat lama.
Pendapat keenam menyebutkan, bahwa ayat ini merupakan ancaman Allah pada orang-orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Namun ancaman ini bisa jadi dilaksanakan dan boleh jadi tidak dilaksanakan. Hal ini sebagaimana jika ada seorang bapak yang berkata kepada anaknya, “Jika kamu keluar rumah, aku akan memukulmu dengan sapu.” Kemudian anaknya keluar rumah, namun bapaknya hanya memukulnya dengan tangannya. Maka, hukuman yang diberikan pada anaknya lebih ringan dari pada ancaman yang diberikan. Demikianlah, Allah ta’ala mengancam orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Maka, jika Allah mengampuni dan memaafkan orang ini. Hal ini adalah sebuah kemurahan Allah swt. Namun pada pendapat keenam ini juga terdapat keganjilan, jika ancaman yang dijanjikan terjadi maka si pembunuh akan kekal di neraka. Padahal hal tersebut tidaklah benar berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Walhasil, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kelima yang menyebutkan, bahwa makna “kekal di neraka”, adalah tinggal dalam waktu yang sangat lama. Atau, pendapat yang keempat yang menyebutkan, bahwa membunuh seorang mukmin dengan sengaja merupakan penyebab seseorang kekal di neraka. Namun jika si pembunuh memiliki keimanan. Maka, hal tersebut akan menjadi penghalang, sehingga dia tidak kekal di neraka. Inilah pendapat yang terpilih lagi dianggap yang lebih kuat.

Pemahaman Hadis
Qatlul mu`min. Artinya, membunuh mukmin.
Di samping telah dijelaskan dalam surat an-nisa` ayat ke-93 di atas. Juga, diriwayatkan oleh sahabat sahabat Abu Darda’ r.hu, dia mengatakan saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda,

“Setiap dosa ada harapan mendapat ampunan dari Allah swt, kecuali dosa orang yang mati dalam keadaan syirik dan dosa orang yang mambunuh seorang mukmin secara sengaja” (Hr.Thabrani).

Perubahan Perilaku (Behavior Transformation)
1. Miliki mindSET tidak membunuh siapa pun dari umat manusia.
2. Cintailah saudara sesama muslim-mukmin, seperti mencintai diri sendiri.
3. Kedepankan Cara Berpikir berpikir positif. Dikarenakan, pahama bahwa hidup di dunia adalah heterogen (plural).

Oase Pencerahan
Allah swt berfirman,

“Dan, orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya] kecuali dengan [alasan] yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat [pembalasan] dosa-[nya]. [Yakni] akan dilipat gandakan adzab untuknya pada Hari Kiamat. Dan, dia kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali, orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan, adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang” (Qs.al-Furqãn [25]: 68-70).

Rasulullah saw telah menceritakan sebuah kisah tentang seorang pemuda bani Isra`il yang telah membunuh 99 jiwa. Kemudian, Allah swt menyadarkan pemuda tersebut untuk segera bertaubat. Maka, pergilah pemuda tersebut kepada seorang ahli ibadah. Lalu, dia mengatakan pada ahli ibadah, bahwa ia telah membunuh 99 jiwa. Apakah dia masih bisa bertaubat?
Sang ahli ibadah tersebut membesar-besarkan permasalahan. Kemudian, dia memutuskan, bahwa tidak ada kesempatan bagi pemuda ini untuk bertaubat. Maka, pemuda tadi membunuh ahli ibadah itu. Sehingga genaplah 100 jiwa yang dia bunuh.
Kemudian, datanglah sang pemuda tadi kepada seorang ahli ilmu (ulama), dan dia berkata, bahwa dia telah membunuh 100 jiwa, apakah dia masih bisa bertaubat? Ulama tadi menjawab, “Ya, siapa yang dapat menghalangimu dari taubat?” Kemudian, ulama tadi melanjutkan, “Akan tetapi, penduduk negeri tempat tinggalmu adalah orang-orang yang dhalim. Pergilah ke negeri fulan, penduduk di sana adalah orang-orang yang baik dan shalih!”
Lalu, pemuda tadi pergi ke negeri yang telah ditunjukkan oleh ulama tadi. Dia berhijrah dari negerinya menuju negeri yang penduduknya baik dan shalih, namun dia wafat di tengah-tengah perjalanannya.
Malaikat rahmat dan malaikat adzab saling memperebutkan, siapa yang berhak membawa ruh pemuda tadi. Kemudian, Allah mengutus seorang penengah di antara kedua malaikat tadi. Sang penengah tadi berkata, “Ukurlah jarak pemuda ini antara kedua negeri tersebut (negeri asalnya dan negeri tempat dia berhijrah). Mana di antara keduanya yang lebih dekat dengannya, maka dia termasuk penduduk kota tersebut.”
Ternyata pemuda tadi lebih dekat dengan negeri yang penduduknya orang-orang shalih. Kemudian, malaikat rahmat membawa ruhnya (Hr.Bukhari 3470 dan Muslim 2766)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar